Kalau nimbrung di obrolan ibu-ibu atau calon ibu
ataupun bapak-bapak dan calon bapak, kadang ada topik yang seru untuk
dibicarakan. Periksa ke dokter atau bidan? Lahir ditangani dokter
spesialis kandungan atau bidan? Ada yang fans berat bu bidan dan
mengatakan bahwa sangat tidak perlu memeriksakan kandungan apalagi
sampai melahirkan di dokter spesialis kandungan, ada yang penggemar
setia dokter sampai-sampai lebih rela antri di dokter kandungan daripada
periksa di bidan. Dramatisasi memang, tapi obrolan dua kubu ini masih
sering terjadi. Obrolan berikutnya adalah tentang, lahir normal atau
cesar? Dan terakhir berlanjut kepada ASI eksklusif dan ASI tak
eksklusif. Obrolan yang biasa-biasa saja sebenarnya, tapi terkadang
menjadi serius karena ada pihak yang dianggap ‘nyinyir’ oleh pihak yang
lain. Dan ada pihak yang terlalu sensitif terhadap pembicaraan itu.
Dokter atau Bidan?
Sewaktu hamil pertama, istri pernah
divonis ketubannya kering oleh dokter spesialis kandungan pada saat usia
kandungan masuk bulan ke sembilan dengan ditunjukkan hasil USG di layar
monitor. Dan saran dokter, harus segera dioperasi sebelum tujuh hari
dari waktu periksa tersebut. Kebetulan saat itu istri sedang ada di
Karanganyar, Solo karena memang berniat melahirkan di rumah orangtua.
Sedang saya sedang di Jakarta karena harus menyelesaikan kuliah. Panik,
tentu saja. Tapi karena kebijaksanaan saya (halah), akhirnya diputuskan
untuk mencari second opinion. Dan alhamdulillah, opini ke dua dan ke
tiga menyatakan bahwa kandungannya baik-baik saja dan masih sangat
sehat.
Keputusan untuk segera melakukan cesar
itulah yang membuat sebagian orang enggan untuk ke dokter kandungan.
Sementara bidan jarang sekali merekomendasikan untuk operasi cesar.
“Makanya ke bidan saja periksanya... kalau ke dokter, dikit-dikit cesar, dikit-dikit operasi”, kata si fulan.
Sebenarnya bidan maupun dokter kandungan
adalah sama-sama profesi yang membidangi masalah kandungan dan masalah
persalinan. Dan lebih baik mana, dokter atau bidan?
Untuk menjawab, tentu saja tergantung dari
kondisi ibu, janin, dan keluarga masing-masing. Dari sisi biaya, tentu
saja dokter kandungan relatif lebih mahal daripada bidan. Dari sisi
peralatan, biasanya dokter lebih lengkap peralatannya, termasuk USG.
Dari sisi pengalaman, bisa jadi bidan lebih banyak pengalamannya,
apalagi bidan yang senior. Sedangkan dokter, kalau baru lulus ya tentu
saja pengalamannya minim.
Terus, dokter atau bidan? Tentu saja
terserah dari kita dan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan kita. Sama
saja, dan kembali kepada kecerdasan kita dalam memilih. Periksa ke bidan
pun tak masalah. Sekarang banyak bidan yang membuka praktek dan
bekerjasama dengan dokter untuk melayani USG. Dan sebaliknya, dokter
kandungan pun di klinik-klinik bersalin juga pasti dibantu oleh bidan
untuk melayani persalinan.
Yang pasti, seorang muslimah tentu akan
risih ketika dilayani oleh dokter yang laki-laki. Jadi kalau ada dokter
kandungan tapi laki-laki dan ada bidan yang perempuan, kecuali force
majeur, ya tentu saja milih bidan yang perempuan.
Cesar atau Normal?
Obrolan yang satu ini kadang cukup
sensitif. Beberapa orang, dalam obrolan di milis ataupun forum diskusi
terkadang memojokkan dan memandang remeh ibu-ibu yang melahirkan dengan
cara cesar. “Gak ada perjuangannya”, katanya. Padahal faktanya, tak
semua persalinan memungkinkan untuk dilakukan normal. Bayi terlalu
besar, pinggul terlalu kecil, kesehatan ibu yang tidak memungkinkan, di
antaranya merupakan alasan kuat untuk dilakukan cesar. Dan untuk
menyelamatkan ibu dan anak, tak bijak tentu saja untuk memaksakan diri
melahirkan secara normal. Dan cesarpun bukan tanpa perjuangan. Lha wong
katanya sakitnya bisa berbulan-bulan kok J
ASI eksklusif
Satu hal yang cukup menggembirakan
akhir-akhir ini adalah kesadaran untuk memberikan ASI Eksklusif untuk
buah hati tercinta, minimal sampai 6 bulan. Jaman dulu, kata orang-orang
tua, bayi berumur beberapa hari sudah dikasih nasi, biar gak kelaparan,
hehe.
Sayangnya, beberapa ibu tidak memungkinkan
untuk memberikan ASI. Entah itu ASInya tidak keluar, ataupun alasan yang
lain. Dan topik ini menjadi tak kalah sensitifnya ketika ada orang yang
memojokkan ibu lantaran tak bisa memberikan ASI Eksklusif. Lha kalau
memang tak memungkinkan, mau gimana lagi?
Kecuali
kalau sang ibu memang enggan menyusui anaknya dan lebih suka membelikan
susu formula yang mahal, tentu lain ceritanya :D.
Intinya adalah, banyak kondisi yang tidak
bisa disamakan antara seseorang dengan orang yang lain. Dan sebagai
suami harus mengerti kondisi ini sehingga dapat memberikan dukungan dan
semangat untuk ibu dari anak-anak kita.
Semoga bermanfaat
http://si-abi.blogspot.com/2011/06/dokter-atau-bidan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar