Senin, 12 Desember 2011

~ Dokter atau Bidan ~



Kalau nimbrung di obrolan ibu-ibu atau calon ibu ataupun bapak-bapak dan calon bapak, kadang ada topik yang seru untuk dibicarakan. Periksa ke dokter atau bidan? Lahir ditangani dokter spesialis kandungan atau bidan? Ada yang fans berat bu bidan dan mengatakan bahwa sangat tidak perlu memeriksakan kandungan apalagi sampai melahirkan di dokter spesialis kandungan, ada yang penggemar setia dokter sampai-sampai lebih rela antri di dokter kandungan daripada periksa di bidan. Dramatisasi memang, tapi obrolan dua kubu ini masih sering terjadi. Obrolan berikutnya adalah tentang, lahir normal atau cesar? Dan terakhir berlanjut kepada ASI eksklusif dan ASI tak eksklusif. Obrolan yang biasa-biasa saja sebenarnya, tapi terkadang menjadi serius karena ada pihak yang dianggap ‘nyinyir’ oleh pihak yang lain. Dan ada pihak yang terlalu sensitif terhadap pembicaraan itu.

Dokter atau Bidan?

Sewaktu hamil pertama, istri pernah divonis ketubannya kering oleh dokter spesialis kandungan pada saat usia kandungan masuk bulan ke sembilan dengan ditunjukkan hasil USG di layar monitor. Dan saran dokter, harus segera dioperasi sebelum tujuh hari dari waktu periksa tersebut. Kebetulan saat itu istri sedang ada di Karanganyar, Solo karena memang berniat melahirkan di rumah orangtua. Sedang saya sedang di Jakarta karena harus menyelesaikan kuliah. Panik, tentu saja. Tapi karena kebijaksanaan saya (halah), akhirnya diputuskan untuk mencari second opinion. Dan alhamdulillah, opini ke dua dan ke tiga menyatakan bahwa kandungannya baik-baik saja dan masih sangat sehat.

Keputusan untuk segera melakukan cesar itulah yang membuat sebagian orang enggan untuk ke dokter kandungan. Sementara bidan jarang sekali merekomendasikan untuk operasi cesar.

“Makanya ke bidan saja periksanya... kalau ke dokter, dikit-dikit cesar, dikit-dikit operasi”, kata si fulan.

Sebenarnya bidan maupun dokter kandungan adalah sama-sama profesi yang membidangi masalah kandungan dan masalah persalinan. Dan lebih baik mana, dokter atau bidan?

Untuk menjawab, tentu saja tergantung dari kondisi ibu, janin, dan keluarga masing-masing. Dari sisi biaya, tentu saja dokter kandungan relatif lebih mahal daripada bidan. Dari sisi peralatan, biasanya dokter lebih lengkap peralatannya, termasuk USG. Dari sisi pengalaman, bisa jadi bidan lebih banyak pengalamannya, apalagi bidan yang senior. Sedangkan dokter, kalau baru lulus ya tentu saja pengalamannya minim.

Terus, dokter atau bidan? Tentu saja terserah dari kita dan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan kita. Sama saja, dan kembali kepada kecerdasan kita dalam memilih. Periksa ke bidan pun tak masalah. Sekarang banyak bidan yang membuka praktek dan bekerjasama dengan dokter untuk melayani USG. Dan sebaliknya, dokter kandungan pun di klinik-klinik bersalin juga pasti dibantu oleh bidan untuk melayani persalinan.

Yang pasti, seorang muslimah tentu akan risih ketika dilayani oleh dokter yang laki-laki. Jadi kalau ada dokter kandungan tapi laki-laki dan ada bidan yang perempuan, kecuali force majeur, ya tentu saja milih bidan yang perempuan.

Cesar atau Normal?

Obrolan yang satu ini kadang cukup sensitif. Beberapa orang, dalam obrolan di milis ataupun forum diskusi terkadang memojokkan dan memandang remeh ibu-ibu yang melahirkan dengan cara cesar. “Gak ada perjuangannya”, katanya. Padahal faktanya, tak semua persalinan memungkinkan untuk dilakukan normal. Bayi terlalu besar, pinggul terlalu kecil, kesehatan ibu yang tidak memungkinkan, di antaranya merupakan alasan kuat untuk dilakukan cesar. Dan untuk menyelamatkan ibu dan anak, tak bijak tentu saja untuk memaksakan diri melahirkan secara normal. Dan cesarpun bukan tanpa perjuangan. Lha wong katanya sakitnya bisa berbulan-bulan kok J

ASI eksklusif

Satu hal yang cukup menggembirakan akhir-akhir ini adalah kesadaran untuk memberikan ASI Eksklusif untuk buah hati tercinta, minimal sampai 6 bulan. Jaman dulu, kata orang-orang tua, bayi berumur beberapa hari sudah dikasih nasi, biar gak kelaparan, hehe.

Sayangnya, beberapa ibu tidak memungkinkan untuk memberikan ASI. Entah itu ASInya tidak keluar, ataupun alasan yang lain. Dan topik ini menjadi tak kalah sensitifnya ketika ada orang yang memojokkan ibu lantaran tak bisa memberikan ASI Eksklusif. Lha kalau memang tak memungkinkan, mau gimana lagi?
Kecuali kalau sang ibu memang enggan menyusui anaknya dan lebih suka membelikan susu formula yang mahal, tentu lain ceritanya :D.

Intinya adalah, banyak kondisi yang tidak bisa disamakan antara seseorang dengan orang yang lain. Dan sebagai suami harus mengerti kondisi ini sehingga dapat memberikan dukungan dan semangat untuk ibu dari anak-anak kita.

Semoga bermanfaat
 
http://si-abi.blogspot.com/2011/06/dokter-atau-bidan.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar